Bantuan Hidup Dasar
(Resusitasi Jantung Paru)
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung
paru otak dibagi dalam tiga fase : bantuan hidup dasar, bantuan
hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama.
Namun pada pembahasan kali ini lebih difokuskan pada Bantuan Hidup Dasar.
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan penanganan
yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses
yang menuju kematian.
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini
dapat disingkat dengan teknik ABC yaitu airway
atau membebaskan jalan nafas, breathing
atau memberikan nafas buatan, dan circulation
atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan BLS
diubah menjadi CAB (circulation,
breathing, airway). Tujuan utama
dari BLS adalah untuk melindungi otak dari kerusakan yang irreversibel akibat hipoksia, karena
peredaran darah akan berhenti selama 3-4 menit.
Langkah-Langkah BLS (Sistem
CAB)
1. Memeriksa
keadaan pasien, respon pasien,
termasuk mengkaji ada / tidak adanya nafas secara visual tanpa
teknik Look Listen and Feel.
2. Melakukan panggilan darurat dan mengambil AED,
3. Circulation :
·
Meraba
dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka dilanjutkan dengan
memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan
dengan melakukan kompresi dada.
·
Untuk penolong non petugas kesehatan
tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi korban.
·
Pemeriksaan
denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.
·
Lokasi kompresi berada pada tengah dada
korban (setengah bawah sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan
cara tumit dari tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan
yang satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan
dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak
menekan dada.
Gambar
1 Posisi tangan
·
Petugas berlutut jika korban terbaring
di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur
Gambar 2 Chest compression
·
Kompresi
dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik)
·
Kecepatan
kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit. Kedalaman kompresi untuk dewasa
minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter
anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2
inchi (5 cm).
4. Airway.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan
jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan meletakkan satu tangan
pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke belakang agar kepala menengadah
dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini dapat ditambah
dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun
jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang
Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas.
Gambar 3 Head Tilt & Chin Lift
Gambar 4 Jaw Thrust
5. Breathing.
Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik
diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume
tidal yang masuk adekuat. Untuk
pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :
·
Pastikan hidung korban terpencet rapat
·
Ambil nafas seperti biasa (jangan
terelalu dalam)
·
Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat
mungkin
·
Berikan satu ventilasi tiap satu detik
·
Kembali ke langkah ambil nafas hingga
berikan nafas kedua selama satu detik.
Gambar 5 Pernafasan mulut ke mulut
·
Jika tidak memungkinkan untuk memberikan
pernafasan melalui mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung
korban.
·
Untuk pemberian melalui bag mask
pastikan menggunakan bag mask dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan
ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.
·
Setelah terpasang advance airway maka
ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10
nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
·
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun
membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6
detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali
setiap 2 menit.
·
Untuk satu siklus perbandingan kompresi
dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan
terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8
detik/kali.
6. RJP
terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau
petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya
tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi
otomatis atau pemasangan advance airway.
7. Alat
defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat
tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada,
kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan
terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme
kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2
menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas
ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban mulai bergerak.
Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB
No
|
ABC
|
CAB
|
1
|
Memeriksa
respon pasien
|
Memeriksa
respon pasien termasuk ada/tidaknya nafas secara visual.
|
2
|
Melakukan
panggilan darurat dan mengambil AED (Automatic Ekstenal
Defibrilator).
|
Melakukan
panggilan darurat
|
3
|
Airway
(Head Tilt, Chin Lift)
|
Circulation
(Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus 30 kompresi, sekitar 18 detik)
|
4
|
Breathing
(Look, Listen, Feel, dilanjutkan
memberi 2x ventilasi dalam-dalam)
|
Airway
(Head Tilt, Chin Lift)
|
5
|
Circulation (Kompresi jantung + nafas
buatan (30 : 2))
|
Breathing
( memberikan ventilasi sebanyak 2 kali, Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2))
|
6
|
|
Defribilasi
|
Alasan untuk perubahan sistem
ABC menjadi CAB adalah :
·
Henti jantung terjadi sebagian besar
pada dewasa. Angka keberhasilan kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala
umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation
(VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen
RJP yang paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan
defibrilasi otomatis segera (early defibrillation).
·
Pada langkah A-B-C yang terdahulu
kompresi dada seringkali tertunda karena proses
pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke mulut
atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti
langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan
ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi
dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik).
·
Kurang dari 50% orang yang mengalami
henti jantung mendapatkan RJP dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan
penyebab hal ini namun salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma
A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway adalah
prosedur yang kebanyakan ditemukan
paling sulit bagi orang awam.
Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga
semakin banyak korban yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan
melakukan ventilasi mulut ke mulut setidaknya
dapat melakukan kompresi dada.
Penggunaan Sistem ABC Saat ini :
1. Pada korban tenggelam atau henti nafas maka
petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar
2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon darurat.
2. Pada
bayi baru lahir, penyebab arrest
kebanyakan
adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C
kecuali terdapat penyebab jantung yang diketahui.
Sumber:
John M.
Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart Association Guidelines
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Circulation 2010;122;S640-S656.
Robert A. Berg, et al. Part 5: Adult Basic Life
Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S685-S705.
Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview:
2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684
No comments:
Post a Comment